Memaafkan dengan Hati

Bookmark and Share
Disebutkan bahwa pada bulan suci Ramadhan anugerah Allah dibagi menjadi tiga bagian; sepuluh hari pertama berupa rahmah, sepuluh hari kedua maghfirah, dan hari-hari selebihnya I’qun minnaar.

Mukmin yang berutung, setelah mengisi Ramadhan dengan berbagai amalan yang dianjurkan, akan mendapat ketiga-tiganya : rahmat Allah, pengampunan-Nya, dan bebas dari api mereka. Mudah-mudahan kita semua termasuk yang beruntung itu, minal faaizin ! Amin.

Apalagikah yang mendapat kita jadikan tumpuan harapan kalu bukan mudah-mudahan atau semoga ? Nabi Muhammad SAW saja tidak berani mengandalkan amalan, hanya nyodong rahmat-Nya.

Bagaimana pula kita yang kadang hanya berpuasa menahan makan dan minum ? Lebih jauh hanya berpuasa menahan syawat kelamin maksimal 12 jam. Kita sering menahan mulut dari dusta, berbicara buruk dan membicarakan keburukan orang lain; mengabaikan puasa menahan mata dari memandang hal-hal yang haram; mengabaikan puasa menahan tangan dari berbuat jail; dan mengabaikan kaki dari melangkah kewilayah-wilayah yang menjerumuskan kemaksiat.

Lebih sering lagi mengabaikan puasa menahan diri dari amarah, hasut, dengki, takabur, mengangap diri paling baik, paling hebat.

Memang ada dawuh yang mengatakan bahwa puasa adalah antara kita dan Allah. Namun yang acap kali kita lupakan ialah bahwa “antara kita dan Allah” itu hanyalah berkaitan dengan “kita’ yang berpuasa dan “Allah” yang mengajarnya.

Puasa itu sendiri tidak semata-mata amalan individual. Puasa tersebut menjadi ringan justru karena kita melakukan bersama-sama. Demikian pula, salat tarawih dan salat witir. (Berapa diantara kita yang biasa melakukan salat witir sendirian ?)

Ketika kita berbuka hingga kekenyangan dan tenaga kita tak menemukan sesuatau untuk berbuka, kita tahu betapa beratnya ancaman. Kelaparan dan kehausan kita di siang dari semestinya mendarkan kita bertapa beratnya saudara kita yang lapar dan haus siang dan malam.

Kedermawanan kita pun diharapkan dapat menaklukan yang melekat pada diri kita. Karena itu, -wallahu a’lam- kegiatan memberikan santunan zakat mengikuti dan mengiring kegiatan puasa.

Puasa sebagai latihan menahan diri bukan saja berkaitan dengan pengekangan nafsu dan syahwat dari dan untuk kita sendiri. Apalagi kita sudah menahan syahwat dan nafsu pribadi untuk tidak makan dan minum dan bersetubuh, tapi kita tidak bisa menahan diri dari marah, dengki dan menyakiti hati orang lain, kita khawatir termasuk mereka yang menurut khadis tersebut- disebut puasa hanya mendapatkan lapar dan haus belaka. Na’uzu billah.

Ya kepada, Allah kita berharap banyak, “Ana ‘inda zhannai’ abdi bii” firman Allah dalam sebuah hadis Qudsi, “Aku mengikuti keyakinan hamba-hamba-Ku”. Bila seorang hamba yakin akan menerima amalnya. Bila ia yakin Allah akan mengampuni dosanya, Allah pun akan mengampuninya. Demikian sebaliknya. Disamping itu, Allah maha baik. Tidak hanya suka memberi, tapi juga suka dimintai hamba-hamba-Nya. Ia Maha pengampun yang suka mengampuni hamba-Nya. Ia berbuat baik dan memberi ampun tanpa pamrih apa pun.

Berbeda dengan manusia yang betapa pun baiknya tidak sebaik itu. Bahkan mungkin lebih banyak yang mengembalikannya. Kebaikannya pun sering berpamrih’ oleh karena itu saya sering mengatakan, bergaul dengan Allah jauh lebih baik jika bergaul dengan manusia. Allah gampangan sedangkan manusia umumnya sulit dan menyulitkan.

Kurang-kurang sedikit pekerjaan yang kita lakukan atas perintah-Nya, asal kita benar-benar berusaha mengepa-ngepaskan kerja kita sesuai perintah-Nya, insyaAllah, Allah akan memaklumi dan memaafkan kekurangannya. “Saddiduu wa Qaaribu !” sabda Rasulullah SAW; Pas-paskanlah, kalu tidak pas betul, minimal mendekati.

Bandingkan dengan umumnya majikan manusia. Jangankan kurang sedikit kadang-kadang sudah pas pun masih menampakan kekurangpuasannya. Anehnya, sikap kita sering terbalik. Terhadap Allah yang mengampangkan begitu kita malah sok pethenthengan. Kepada hamba yang sembahyang kurang pas sedikit saja menghadap kiblat, kita marah-marah. Ada orang buka warung memang pekerjaanya warungan di siang bulan Ramadhan saja kita marah. Seolah-olah kita khawatir tergoda makan jika ada warung buka. Berlebaran tidak sesuai hisab atau rukyat saja geger. Seolah-olah Ied adalah hak kita, bukan hak Allah.

Sementara terhadap manusia yang tidak gampang, menganggap gampang. Enak saja kita berbuat sesuatu tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain. Bahkan sudah tahu kita tidak suka dibohongi, dengan gampang kita membohongi orang lain. Kita tidak suka dilukai dengan gampang kita melukai orang lain. Kita tidak suka hak kita dirampas dengan gampang kita merampas hak orang lain.

Padahal, kesalahan kita kepada sesama ada hisabnya dan tidak otomatis terampuni tanpa kita mendapatkan pemaafan dari yang bersangkutan. Betapapun baiknya sikap kita terhadap Allah kita berlaku semena-mena kita perlu mulai khawatir akan nasib kita kelak di kemudian hari.

Waba’du, beruntunglah kita punya tradisi unik dalam memeriahkan Idul fitri. Di dalamnnya ada acara silaturohmi diantara kita. Marilah kita gunakan kesempatan silaturohmi itu sebaik-baiknya. Kita gunakan saling mengakui kesalahan dan memohon maaf sekaligus berjanji dalam hati, untuk selanjutnya akan lebih berhati-hati dalam pergaulan. Mudah-mudahan dengan demikian kita akan menjadi manusia fitri kembali.
Oleh: A. Mustofa Bisri

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar