Pada Sebuah Kearifan Lingkungan

Bookmark and Share
Suatu hari, Abu Yazid al-Busthami bersama temannya mencuci pakaian di tengah padang. Saat tiba waktu menjemur, sang teman berkata, “Gantung saja pakaian ini di tembok dengan memutar.” Mendengar usulan temannya, Abu Yazid kontan menjawab tidak setuju, ”Jangan menyelipkan baju di tembok orang.”

Karena tidak disetujui, sang teman memberikan pilihan lain, ”Kalau begitu, jemur saja di pohon.” Abu Yazid kembali mencegah,”Jangan, nanti rantingnya bisa patah.” Mendapat penolakan kedua kalinya, sang teman mulai heran, ”Apakah kita jemur di atas rumput?’ Lagi-lagi, Abu Yazid menunjukkan ketidaksenangannya, ”Jangan, rumput itu makanan binatang.” Sertamerta, Abu Yazid meletakkan pakaian yang masih basah itu di punggungnya. Begitu sisi pakaian kering, ia balik lagi untuk sisi lain hingga kering keseluruhan dan dipakainya kembali.

Kisah di atas, adalah sederma sikap sufi yang begitu eman dan mencintai lingkungan. Bagi sufi, semua yang ada di alam semesta adalah makhluk Allah yang harus dipiara dan dilindungi.

Namun, kenapa kini dunia banyak dilanda bencana? Pemanasan global telah menjadi momok masyarakat dunia. Bencana-bencana alam seperti banjir bandang, longsor, kekeringan dan kebakaran hutan yang telah memusnahkan jutaan tumbuhan dan hewan-hewan yang tak ternilai harganya, serta erosi, polusi udara dan air, hanyalah beberapa contoh kecil. Secara simbolis, semua itu menunjukkan betapa alam telah marah kepada manusia atas perlakuan yang tidak bermoral atasnya.

Pandangan sekuler tentang alam memang telah menghasilkan kemajuan-kemajuan ilmiah dan teknologi yang cukup berarti bagi kemakmuran dan kesejahteraan umat manusia. Di sisi lain, pandangan sekuler-moderen juga telah menciptakan berbagai masalah dalam hubungan manusia dengan alam. Manusia moderen menjadi semakin teralienasi dari alam, setelah mereka menciptakan jurang yang tak terjembatani antara keduanya, yakni manusia sebagai subjek dan alam sebagai objek.

Dengan memandang alam semata-mata sebagai objek, nafsu manusia moderen telah mengeksploitasi alam secara kasar untuk memenuhi tuntutan nafsu mereka yang terus menerus meningkat dan tidak pernah ada puasnya.

Menurut kaum sufi, manusia telah menjadi bagian dari alam. Manusia menempati posisi yang sangat istimewa dalam keseluruhan tatanan alam semesta dan kosmik. Manusia dipandang sebagai tujuan akhir penciptaan dan juga sekaligus sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Karena alasan tersebut, maka manusia telah diberikan hak untuk mengelola alam.

Tapi, hak tersebut hanya sejauh atau berkat bentuk teomorfiknya dan bukan sebagai hak untuk memberontak melawan langit, sebagaimana pemberontakan yang dilakukan oleh manusia moderen terhadap Tuhan. Manusia adalah saluran berkah Tuhan bagi alam, yakni melalui partisipasinya yang aktif dalam dimensi spritual alam. Manusia adalah mulut di mana jasad alam bernafas dan hidup.

Bagi para sufi, alam tidak akan pernah menjadi semata objek-objek yang mati untuk mengabdi pada manusia. Alam adalah sebuah wujud hidup yang mampu mencinta dan dicinta.

Jika manusia moderen cenderung melihat alam hanya dari aspek fisiologis dan kuantitatifnya serta memandang bahwa alam harus dikontrol dan dikuasai demi semata-mata kepentingan manusia, maka para sufi melihatnya sebagai simbol. Dari simbol-simbol alam itu dapat ditangkap isyarat mengenai realitas-realitas yang lebih tinggi.

Menurut para sufi, alam adalah cermin universal yang memantulkan apa pun yang ada di dunia-dunia atas. Keberadaan alam menjadi sebuah panorama simbol yang luas yang berbicara kepada manusia dan memiliki makna baginya. Dalam konteks inilah, seorang sufi menyebut alam sebagai bayangan, yakni bayangan dari Tuhan Yang Maha Esa.

Abu Bakar Sirajuddin menyatakan bahwa tidak ada satu pun di alam yang lebih dari sekadar bayangan. Bahkan, jika ada sebuah dunia yang tidak memberi bayangan dari atas, dunia di bawahnya akan musnah seketika, karena tiap dunia dalam ciptaan ini tidak lebih dari sebuah jaringan bayang-bayang alias the tissue of the shadows. Seluruh tampilan dalam berbagi bayangan itu, secara keseluruhan tergantung pada arketip-arketip dunia di atasnya.

Menurut para sufi, manusia tidak cukup berhenti pada ajaran teoritis, tapi juga harus bergerak pada peristiwa sejati jiwa. Ini berarti, bahwa seseorang harus menyeberangi seluruh teluk atau jurang yang memisahkan kepastian ilmu-ilmu teoritis dan kepastian dari pengetahuan gnostik yang terhayati dan terealisasi secara personal.

Dari lubuk alam yang dalam, manusia harus berusaha mengatasi alam, dan alam sendiri yang berfungsi sebagai tangga. Keberadaan alam dapat bertindak sebagai penopang dalam proses ini. Dari dorongan untuk mentransenden alam dan juga untuk menyeberangi jurang antara pengetahuan teoretis dan pengetahuan diri yang terealisasi (self realized knowledge), ide tentang pengembaraan spiritual, muncul ke permukaan dalam begitu banyak karya mistik dan filosofis.

Dalam keseluruhan karya para sufi sangat terbaca pemikiran yang mengungkapkan secara simbolis dan indah mengenai pelajaran mereka sendiri ke dunia spiritual. Semua ini, bukan berarti hanya sekadar cerita-cerita fiktif, tapi merupakan refleksi dari perjalanan spiritual mereka kepada realitas sejati, al Haqq. Seperti halnya, dalam karya fiktif-naratif Ibnu Sina (wafat 1037), yaitu Risalah al Thayr.

Akhirnya, bagi para sufi, tempat di mana kita hidup sekarang, hanyalah satu dari dunia lainnya. Ia bertindak sebagai tangga dan hanya melalui tangga itulah manusia bisa melakukan pendakian spiritual, mi'raj untuk bisa menuju puncak wujud, yaitu Tuhan. Al-Quran menyatakan sesungguhnya kita adalah milik Tuhan dan kepada-Nyalah kita akan kembali.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar