Beramal Sebanyak Mungkin Atau Beriman Sebelum Beramal?

Bookmark and Share

Di dalam Al-Qur’an seringkali Allah سبحانه و تعالى menyatakan bahwa Allah سبحانه و تعالى pasti membalas seorang hamba sebagai ganjaran atas amal-perbuatan yang telah dilakukannya. Perbuatan apapun, apakah berupa sebuah amal baik maupun amal buruk, kedua-duanya pasti bakal diberi ganjaran oleh Allah سبحانه و تعالى .

أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيها جَزَاءً بِما كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-Ahqaf 14)

فَأَعْرِضُوا عَنْهُمْ إِنَّهُمْ رِجْسٌ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahanam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. (QS At-Taubah 95)

Di dalam surah Al-Ahqaf 14 Allah سبحانه و تعالى gambarkan balasan atas amal-perbuatan baik yang mengantarkan pelakunya ke dalam surga. Semoga kita termasuk ke dalam golongan tersebut. Sedangkan di dalam surah At-Taubah 95 justeru sebaliknya, Allah سبحانه و تعالى gambarkan mereka yang berbuat amal-perbuatan buruk sehingga pelakunya diganjar dengan neraka Jahannam. Wa na’udzubillaahi min dzaalika.

Jadi jelas sekali betapa pentingnya pilihan jenis amal-perbuatan apa yang dilakukan seseorang sehingga ia berhak menerima balasan seperti apa dari Allah سبحانه و تعالى . Maka alangkah naifnya bila ada seorang yang mengaku muslim lalu ia tidak pernah merenungkan jenis amal apa yang ia pilih, yang penting menurutnya adalah banyaknya amal. Lalu dia berusaha mengisi waktunya dengan sebanyak mungkin amal. Lebih jauh lagi dia bahkan memandang remeh orang lain yang dinilainya tidak banyak beramal. Sehingga dengan mudah dia menstempel orang lain yang tidak sibuk beramal seperti dirinya sebagai orang-orang yang hanya NATO (no action, talk only). Padahal Allah سبحانه و تعالى memperingatkan kita bahwa ada sementara manusia di dunia ini yang mengira bahwa dirinya sudah banyak berbuat kebaikan namun ternayata di dalam pandangan Allah سبحانه و تعالى justeru mereka itulah orang-orang yang paling merugi.

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأخْسَرِينَ أَعْمَالاالَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ
فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

“Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS Al-Kahfi 103-104)
Apakah faktor yang menyebabkan perbuatan yang mereka sangka baik itu justeru ternyata di mata Allah سبحانه و تعالى adalah sia-sia dalam kehidupan di dunia? Lihatlah penjelasan Allah سبحانه و تعالى pada ayat berikutnya:

أُولَئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلا نُقِيمُ لَهُمْ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًاذَلِكَ جَزَاؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوا وَاتَّخَذُوا آيَاتِي وَرُسُلِي هُزُوًا

“Mereka itu orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Rabb mereka dan (kafir terhadap) perjumpaan dengan Dia (Allah). Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahanam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok.” (QS Al-Kahfi 105-106)

Merekalah orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Rabb mereka dan (kafir terhadap) perjumpaan dengan Dia (Allah). Inilah sebabnya..! Jadi, sebabnya terkait dengan masalah yang lebih fundamental daripada urusan beramal, berbuat maupun bekerja. Urusannya terkait dengan hadir-tidaknya iman di dalam dirinya. Iman terhadap ayat-ayat Allah سبحانه و تعالى dan iman terhadap perjumpaan dengan Allah سبحانه و تعالى di hari berbangkit kelak. Barangsiapa yang imannya tidak hadir atau tidak sah, maka berarti ia kafir. Dan kekafiran inilah yang menghapus semua amal kebaikan yang disangka pelakunya bahwa dia telah berbuat sebaik-baiknya.

Iman merupakan prasyarat agar amal apapun yang dipilih seseorang mendatangkan ganjaran kebaikan dari Allah سبحانه و تعالى . Tidak hadirnya iman atau tidak sahnya iman seseorang bakal menghapuskan nilai amal apapun yang telah dikerjakannya. Betapapun banyaknya amal orang itu, namun jika tidak dilandasi oleh hadirnya iman yang benar, maka niscaya merugilah orang itu kelak di akhirat. Sehingga Allah سبحانه و تعالى berfirman: Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. Alangkah ruginya dia..! Bayangkan, amal yang banyak itu dihapus oleh Allah سبحانه و تعالى . Tidak mendapatkan penilaian atau pengakuan dari Allah سبحانه و تعالى barang sedikitpun. Di tempat lainnya Allah سبحانه و تعالى berfirman mengenai amal kaum kafir itu:

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS Al-Furqan 23)

وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ

“Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana.” (QS An-Nur 39)

Bahkan lebih jauh lagi Allah سبحانه و تعالى berfirman: Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahanam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok. Orang-orang itu dipastikan Allah سبحانه و تعالى bakal dibalas dengan neraka Jahannam. Dan mereka diserupakan Allah سبحانه و تعالى dengan orang-orang yang mengolok-olok ayat-ayat Allah سبحانه و تعالى dan rasul-rasulNya.

Saudaraku, sungguh kita harus waspada terhadap masalah ini walupun kita telah mengaku diri sebagai seorang muslim, seorang yang telah berikrar syahadatain, seorang yang menganggap diri termausuk kaum beriman. Sebab Allah سبحانه و تعالى bahkan menyatakan bahwa kebanyakan orang yang menganggap dirinya beriman kepada Allah سبحانه و تعالى ternyata terlibat dalam dosa syirik..!

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS Yusuf 106)
Walau saat membahas ayat di atas Ibnu Katsir mengacu kepada kaum musyrikin Quraisy di kota Mekkah pada masa jahiliah, namun Sayyid Qutb di dalam kitab Fi Zhilalil Qur’an menulis:

Di sana ada juga syirik yang nyata dan tampak jelas. Yaitu ketundukan kepada selain Allah سبحانه و تعالى dalam salah satu perkara hidup, ketundukan kepada suatu hukum yang dijadikan keputusan dalam segala urusan, ketundukan terhadap adat seperti pesta-pesta dan festival-festival meriah yang tidak disyariatkan oleh Allah سبحانه و تعالى , ketundukan dalam pakaian dan seragam yang bertentangan dengan syariat Allah سبحانه و تعالى berkenaan dengan pembukaan aurat dimana nash memerintahkan untuk menutupnya.

Masalahnya, dalam perkara-perkara itu bisa melampaui batas kesalahan dan dosa karena penentangan, ketika hal itu merupakan wujud ketaatan, ketundukan dan kepasrahan kepada adat suatu masyarakat yang dihormati padahal ia adalah bikinan manusia. Sementara itu, perintah Allah سبحانه و تعالى Rabb manusia yang jelas dan bersumber dari-Nya ditinggalkan dan diacuhkan. Pada saat itu perkara tersebut bukan lagi hanya dosa dan kesalahan, tapi sudah menjadi syirik. Karena hal itu merupakan ketundukan kepada selain Allah سبحانه و تعالى dalam perkara-perkara yang menentang perintah-Nya. Dari sudut ini, perkara menjadi sangat berbahaya.
Ayat di atas mengenai sasaran orang-orang yang dihadapi rasulullah صلى الله عليه و سلم di Jazirah Arab, dan mencakup sasaran orang-orang lainnya di setiap zaman dan setiap tempat. (Tafsir Fi Zhilalil Qur’an- jilid 7- Gema Insani- hlm 19)

Ketika Sayyid Qutb mengatakan “Pada saat itu perkara tersebut bukan lagi hanya dosa dan kesalahan, tapi sudah menjadi syirik”, maka kita yang hidup di era badai fitnah dewasa ini sepatutnya berhati-hati dan merasa khawatir. Sebab di dalam Sistem Dajjal begitu banyak –kalau tidak bisa dikatakan seluruhnya- aturan dan hukum yang diberlakukan bukan bersumber dari hukum Allah سبحانه و تعالى melainkan hukum bikinan manusia. Dan Allah سبحانه و تعالى menyatakan bahwa hukum di dunia ini hanya ada dua macam, hukum Allah سبحانه و تعالى atau hukum thaghut. Hukum Allah سبحانه و تعالى wajib ditegakkan dan ditaati, sedangkan hukum thaghut wajib diingkari dan dijauhi. Demikian firman Allah سبحانه و تعالى .

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالا بَعِيدًا

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS An-Nisa 60)

Mengomentari ayat di atas Ibnu Katsir menulis:

Ini merupakan pengingkaran Allah سبحانه و تعالى terhadap orang yang mengaku beriman kepada apa yang diturunkan Allah سبحانه و تعالى kepada RasulNya dan kepada para nabi yang mendahului Nabi kita. Walaupun pengakuannya demikian, mereka tetap berhakim kepada selain Kitab dan Sunnah. Demikian pula ayat ini mencela orang yang berpindah dari hukum Allah سبحانه و تعالى dan RasulNya kepada kebatilan selain keduanya, kebatilan itulah yang disebut thaghut di sini. Oleh karena itu Allah سبحانه و تعالى berfirman “Mereka hendak berhakim kepada thaghut”.(Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir-jilid 1-Gema Insani-hlm 742-743)

Dewasa ini hukum Allah سبحانه و تعالى tidak dimuliakan, disucikan dan ditinggikan. Yang dimuliakan adalah hukum bikinan manusia, aturan nenek-moyang, adat-istiadat setempat atau deklarasi hak asasi manusia dan sejenisnya. Apakah manusia modern mengira bahwa Allah سبحانه و تعالى tidak sanggup merumuskan hukum yang memenuhi rasa keadilan seluruh umat manusia? Sehingga mereka lebih memuliakan dan meyakini hukum produk manusia yang dinilai adil, up-to-date dan akomodatif untuk menyerap aspirasi aneka jenis manusia di muka bumi? Jika demikian adanya, sungguh keji logika manusia modern..! Mereka telah gagal menangkap tanda-tanda kebesaran Allah سبحانه و تعالى yang terus-menerus menjamin rezeki segenap makhluk, baik manusia maupun hewan di langit dan di bumi. Kok bisa mereka berprasangka bahwa Dzat yang seperti itu tidak sanggup merumuskan hukum yang adil? Sementara manusia yang tidak sanggup menjamin rezeki untuk dirinya sendiri saja kok malah diyakini produk hukumnya dapat memenuhi rasa keadilan segenap manusia..! Pantas Allah سبحانه و تعالى menantang manusia kafir itu dengan pertanyaan berikut:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maidah 50)

Berarti, sudah jelaslah, bahwa kata kuncinya terletak pada kata-kata “bagi orang-orang yang yakin”. Jika sekedar mengandalkan pengakuan seseorang bahwa dirinya muslim atau beriman, maka ini tidak menjamin. Tetapi diperlukan pembuktian lebih lanjut. Pembuktian itulah yang menandakan hadir tidaknya keyakinan alias iman. Sah atau tidaknya iman. Maka jika kita kembali kepada pembahasan di awal mengenai “orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya,” mereka adalah orang-orang yang boleh jadi secara lisan mengaku muslim atau mengaku beriman, tetapi sejatinya di mata Allah سبحانه و تعالى mereka adalah orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah سبحانه و تعالى .

Mereka adalah orang-orang yang hanya sibuk memperbanyak amal namun tidak merenungkan apakah tumpukan amalnya itu sudah benar-benar dilandasi iman yang sah atau tidak. Benarkah mereka telah menjadikan kalimat tauhid sebagai fondasi berbagai amal mereka? Atau mereka sesungguhnya tidak pernah peduli apakah ketika beribadah kepada Allah سبحانه و تعالى mesti disertai pengingkaran kepada thaghut? Atau mereka mengira bahwa banyak beramal merupakan suatu perkara mulia yang pasti bakal mendatangkan kebaikan dari Allah سبحانه و تعالى walaupun amal itu berlandaskan penerimaan diri akan hukum thaghut? Sungguh jauh sekali prasangka mereka dari kebenaran yang Allah سبحانه و تعالى terangkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Oleh karena itu dalam ayat berikutnya Allah سبحانه و تعالى menegaskan bahwa orang-orang yang beramal sholeh dengan dilandasi iman yang benar sajalah yang bakal dijamin memasuki surga Firdaus-Nya. Orang-orang yang tidak saja sadar pentingnya beribadah kepada Allah سبحانه و تعالى tetapi juga faham urgensi menjauhi dan mengingkari thaghut.

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ
الْفِرْدَوْسِ نُزُلا خَالِدِينَ فِيهَا لا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلا

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah daripadanya.” (QS Al-Kahfi 106-107)

Saudaraku, beramal sholeh itu penting. Tetapi yang jauh lebih penting lagi adalah beriman yang benar sebelum beramal. Sebab bila iman sudah benar, maka sekecil dan sesedikit apapun amal seseorang, niscaya ia akan memperoleh balasan yang baik dan berlipat dari Allah سبحانه و تعالى di akhirat kelak. Namun sebaliknya, sebanyak apapun amal seseorang jika tidak dilandasi oleh iman yang benar, niscaya ia akan merugi di akhirat kelak. Sebab Allah سبحانه و تعالى tidak akan memberikan penilaian apapun atas amal yang tidak berlandaskan iman yang benar tadi.

Hidup di era penuh fitnah seperti saat ini banyak sekali ditemukan ancaman terhadap eksistensi iman yang benar. Tawaran untuk mengingkari Allah سبحانه و تعالى sangat banyak dan menggiurkan. Tawaran untuk berkompromi bahkan bekerjasama dengan thaghut sungguh sangat ramai dan menjanjikan keuntungan duniawi. Keadaan dunia dewasa ini sangat tepat digambarkan oleh hadits Nabi صلى الله عليه و سلم berikut ini:

بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ
يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا
وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا

Nabi صلى الله عليه و سلم bersabda: "Segeralah beramal sebelum datangnya rangkaian fitnah seperti malam yang gelap gulita. Di pagi hari seorang laki-laki dalam keadaan mukmin, lalu kafir di sore harinya. Di sore hari seorang laki-laki dalam keadaan mukmin, lalu kafir di pagi harinya. Dia menjual agamanya dengan barang kenikmatan dunia." (HR Muslim - 169) Shahih

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ إِيمَانًا لَا يَرْتَدُّ

“Ya Allah, aku meminta kepadamu keimanan yang tidak akan murtad.” (AHMAD - 4112)

http://www.eramuslim.com/suara-langit/penetrasi-ideologi/beramal-sebanyak-mungkin-atau-beriman-sebelum-beramal.htm

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar