Selamat Jalan Saudaraku (Kisah Nyata)

Bookmark and Share
Murtakibudz Dzunub - Tiga tahun belakangan ini, aku sering teringat kisah masa kecilku dulu.  “siapa yang buat kamu nangis sampai kayak gini dik..?” itulah sepenggal kalimah kakak yang terus kuingat sampai sekarang.

Juga tentang adikku satu-satunya, kami sering berantem hanya karena hal sepele, meski demikian aku tidak terima saat melihat ia dinakalin teman sepermainannya ahhh… namanya juga masih anak-anak.

Hingga kami tumbuh dewasa..

Sore itu, sehabis pulang ngajar dari TKA/TPA ADDIENA tidak seperti biasanya tiba-tiba kakakku mengajak ngobrol didalam kamar “kok, tumben-tumbenan dia ngajak ngobrol” aku agak sedikit heran, dari obrolan itulah aku mendapati keanehan dari kakak ku, karena tanpa alasan yang jelas ia menuduh sahabatku baikku yang bukan-bukan.

Hingga suatu malam, sekitar jam satu ia berteriak amat keras hingga membangunkan seisi rumah yang sedang tidur. Ia meraung keras sambil mengumpat seperti orang yang sedang kesurupan. Hingga keesokan harinya baru aku sadari bahwa kakak ku tercinta ini sudah kehilangan akal sehatnya. Sudah berbagai macam cara jenis pengobatan ia alami, namun belum juga menemukan kesembuhan.

Ya.. Alloh....
Aku masih teringat jelas, suatu malam pas kondisinya bisa diajak komunikasi ia bertanya “din… apakah kakakmu ini bisa sembuh?”, aku tidak tega karena waktu kondisi kakak kambuh, kakak sering nyakitin kalian terutama Ibu..” aku berusaha menahan agar airmata yang makin menggenang dikelopakan ini untuk tidak jatuh, dengan dada yang agak sesak “kak.. semua penyakit itu pasti ada obatnya”. “kamu disini aja ya temenin kakak tidur” sambil menemaninya tidur aku mengambil kitab Durrotun Nasihin dan mambacanya guna menceritakan kisah-kisah hikmah agar kakak ku kuat.

Karena waktu putus asa dia pernah bilang mahu bunuh diri. Hingga keluarga memutuskan untuk membawanya ke pondok khusus yang menangani orang-orang yang mengalami gangguan jiwa tepatnya.

Hampir tiga tahun sudah kakakku sakit. Belum selesai dengan satu cobaan, tiba-tiba kakak ku yang sulung memberi kabar “din.. cepet pulang  fidhun masuk rumah sakit”. Masyaa Alloh… ia divonis mengidap penyakit gagal ginjaal!!! di umurnya yang baru 22 tahun.

Masih aku ingat.. saat ia merintih kesakitan yang teramat sangat, menahan rasa dahaga melebihi dahaganya orang yang berpuasa karena dokter hanya memperbolehkan maksimal satu hari minumnya tidak boleh lebih dari setengah gelas. Masih teringat jelas ketika ia merengek minta minum “kak.. minta satu cendok aja… masak gak boleh” hampir menangis aku melihatnya,  sambil tersenyum aku mengusap dahinya yang keringetan, seraya ku hibur biar sejenak dia lupa akan dahaganya.

Tiga puluh sembilan hari sudah dia dalam kondisi kritis dan tidak berdaya.
“Astaghfirulloh…. Ya Alloh… hamba mohon ampun” keluhnya sambil menangis, “Bu’… tolong sampein kepada semua orang di desa kita, aku minta maaf kalau pernah berbuat salah pada mereka semua,” Ibuku hanya mengangguk menahan tangis, “kak… kak sabih sedang apa ya sekarang… aku nyesel dulu waktu aku sehat gak pernah ngejenguk dia”. Akupun tidak bisa berkata apa-apa.

Tibalah dimalam ke empat puluh ia dirawat di rumah sakit. Sehabis menunaikan sholat maghrib, aku dan kakak sulungku Rey, menemani dipinggir ranjangnya, “Ya Alloh…!!! sakit kaakkk…. sakiiitttt”, sambil terengah-engah “kak…. kok susah banget bernafas..” tubuhku pun merinding, dentuman jantungkupun kian tidak beraturan karena dilanda kehawatiran yang sangat.

Dengan bergegas kakak sulungku memanggil dokter. Hingga akhirnya sambil ku genggam erat tanggannya dan kurasakan tubuh yang dulunya hangat menjadi dingin, hingga ahirnya aku beru menyadari bahwa adikku sudah tidak bernyawa lagi. “INNAA LILLAHI WAINNAA ILAIHI ROJI’UN…”.

Selamat jalan adikku… kakak yakin, rasa sakit yang kau alami bisa menjadikanmu kederejat syahid akhirat.

Niat sucimu ingin memberangkatkan haji kedua orang tuamu, semoga menjadi salah satu amalan yang diterima Tuhanmu.

Ditulis, 24 November 2010 M



{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar