Murtakibudz Dzunub - Dalam hidup, kadang kita harus dihadapkan pada sebuah pilihan yang tidak di ingini oleh kemauan hati. Karena hidup tidak akan membawa arti tanpa adanya sebuah pengorbanan. Maka latihlah diri untuk selalu siap menghadapi kemungkinan terburuk yang akan terjadi.
Kadang kita harus rela meninggalkan sesuatu yang amat di kasihi, keluarga, sahabat bahkan kekasih. Jika dulu rasul pernah bersabda, "khoirunnas an fa'uhum linnas" padanya menyimpan sebuah disiplin ahlak yang tidaklah sedikit. Artinya dalam setiap episode hidup pastilah ada yang namanya pengorbanan (untuk medapat predikat an fa'uhum linnas). Sebagai contoh sederhana mungkin kita harus belajar untuk berkata "aku akan senantiasa ada buat kalian kalau memang kehadiranku membawa kemaslahatan", "aku akan selalu ada untukmu selama kau masih membutuhkanku", "dan, aku akan belajar meninggalkanmu kalau memang hadirku hanya membawa madharat buatmu".
Disini kita melihat, sikap ksatria pada diri seseorang yang tidak egois mementingkan ego nafsu diri sendiri. Kita tidak menjumpai adanya pamrih dalam sebuah ikatan hingga disinilah makna tulus terwujud.
Jika mendapati orang yang kita kasihi menyimpan masa lalu yang kelam, anggaplah itu meruakan awal mula dari sebuah ketulusan dipertanyakan. Jangan sampai karena sifat kita yang menuntut 'sempurna' mematahkan harapannya yang ingin berubah menjadi lebih baik (saat bersama kita) hingga terkesan kita begitu mudah mengatakan "aku kecewa dan sakit hati dengan masa lalunmu, maka pantaslah jika aku meninggalkanmu". Jika kita hubungkan kembali dengan hadits diatas, bisa dikatakan kita mengesampingkan hadits "idza amartukum bi sya'in fa'tuu minhu mastatho'tum" (ketika saya memerintahkan sesuatu kepadamu maka, maka kerjakanlah semampumu).
Apa hubungan dari kedua hadits tadi?, coba kita perhatikan dengan seksama. Dari gambaran diatas kita bisa dikategorikan pada hadits yang pertama yakni memberi manfaat untuk orang lain, sayang hanya karena nafsu kita yang menuntut 'sempurna' kita malah mengabaikan hadits yang kedua, yakni meninggalkan hadits yang pertama. Sebenarnya kita masih mampu untuk menjalankan sunnah rasul - hadits yang pertama (meskipun hadits yang pertama secara lafdhiyah tidak menunjukkan 'amar' tapi secara maknawi beliau memerintahkan ummatnya untuk bisa menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesamanya) yakni dengan menjadi-nya kita sebagai manusia baik yang bisa membawa manfaat untuk orang lain. Meski kita sendiri menelan kekecewaan, anggaplah itu sebuah pengorbanan.
Jadi alangkah bijaknya jika kita mengatakan, "Saat aku meninggalkanmu menjadi sebuah keharusan maka hal itu harus aku lakukan. Namun jika meninggalkankanmu menjadi sebuah keburukan maka hal itu tidak akan pernah aku lakukan." Inilah salah satu gambaran dari hadits "khoirunnas an fa'uhum linnas" dan "idza amartukum bi sya'in fa'tuu minhu mastatho'tum", kalau kita lihat dari segi sosial.
Wallahu 'alam
Kadang kita harus rela meninggalkan sesuatu yang amat di kasihi, keluarga, sahabat bahkan kekasih. Jika dulu rasul pernah bersabda, "khoirunnas an fa'uhum linnas" padanya menyimpan sebuah disiplin ahlak yang tidaklah sedikit. Artinya dalam setiap episode hidup pastilah ada yang namanya pengorbanan (untuk medapat predikat an fa'uhum linnas). Sebagai contoh sederhana mungkin kita harus belajar untuk berkata "aku akan senantiasa ada buat kalian kalau memang kehadiranku membawa kemaslahatan", "aku akan selalu ada untukmu selama kau masih membutuhkanku", "dan, aku akan belajar meninggalkanmu kalau memang hadirku hanya membawa madharat buatmu".
Disini kita melihat, sikap ksatria pada diri seseorang yang tidak egois mementingkan ego nafsu diri sendiri. Kita tidak menjumpai adanya pamrih dalam sebuah ikatan hingga disinilah makna tulus terwujud.
Jika mendapati orang yang kita kasihi menyimpan masa lalu yang kelam, anggaplah itu meruakan awal mula dari sebuah ketulusan dipertanyakan. Jangan sampai karena sifat kita yang menuntut 'sempurna' mematahkan harapannya yang ingin berubah menjadi lebih baik (saat bersama kita) hingga terkesan kita begitu mudah mengatakan "aku kecewa dan sakit hati dengan masa lalunmu, maka pantaslah jika aku meninggalkanmu". Jika kita hubungkan kembali dengan hadits diatas, bisa dikatakan kita mengesampingkan hadits "idza amartukum bi sya'in fa'tuu minhu mastatho'tum" (ketika saya memerintahkan sesuatu kepadamu maka, maka kerjakanlah semampumu).
Apa hubungan dari kedua hadits tadi?, coba kita perhatikan dengan seksama. Dari gambaran diatas kita bisa dikategorikan pada hadits yang pertama yakni memberi manfaat untuk orang lain, sayang hanya karena nafsu kita yang menuntut 'sempurna' kita malah mengabaikan hadits yang kedua, yakni meninggalkan hadits yang pertama. Sebenarnya kita masih mampu untuk menjalankan sunnah rasul - hadits yang pertama (meskipun hadits yang pertama secara lafdhiyah tidak menunjukkan 'amar' tapi secara maknawi beliau memerintahkan ummatnya untuk bisa menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesamanya) yakni dengan menjadi-nya kita sebagai manusia baik yang bisa membawa manfaat untuk orang lain. Meski kita sendiri menelan kekecewaan, anggaplah itu sebuah pengorbanan.
Jadi alangkah bijaknya jika kita mengatakan, "Saat aku meninggalkanmu menjadi sebuah keharusan maka hal itu harus aku lakukan. Namun jika meninggalkankanmu menjadi sebuah keburukan maka hal itu tidak akan pernah aku lakukan." Inilah salah satu gambaran dari hadits "khoirunnas an fa'uhum linnas" dan "idza amartukum bi sya'in fa'tuu minhu mastatho'tum", kalau kita lihat dari segi sosial.
Wallahu 'alam
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar